Sabtu, 16 Maret 2013

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM RANAH PENELITIAN KUALITATIFPENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM RANAH PENELITIAN KUALITATIF

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM RANAH PENELITIAN KUALITATIF

I.            PENDAHULUAN
Penelitian adalah sama halnya dari kata mencari, adapun yang dicari adalah jawaban atau suatu kebenaran dari hal yang kurang atau malah ketidaktahuan dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam fikiran manusia atas suatu masalah yang muncul dan perlu untuk dipecahkan. Dalam hal ini, penelitian adalah suatu sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Betapa besarnya manfaat dan kegunaan dari adanya suatu penelitian.
Suatu kegiatan penelitian yang dilakukan atas dasar adanya suatu masalah. Demikian pula dengan penelitian kualitatif tidak dimulai suatu yang tidak ada isinya atau kosong, tetapi dilakukan atas presepsi seseorang terhadap adanya suatu masalah. Masalah-masalah yang ada di sekitar atau sosial akan dibatasi dengan suatu desain atau variansi peneltian diantaranya adalah etnografi, kontruksionistik, fenomenologi ,heuristik, fungsionalisme dan lain sebagainya.
Meskipun dalam tataran praktis perbedaan antara penelitian kuantitatif dan kualitatf seperti nampak sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai landasan epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham positifisme, sementara itu penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham naturalistik (fenomenologis).[1]
Fenomenoligilah yang sedikit di utarakan dalam makalah ini dan didiskusikan bersama agar mendapat titik terang tentang materi Pendekatan Fenomenologi dalam Ranah Penelitian Kualitatif.

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Siapa dan Bagaimana Biografi Tokoh Perintis Fenomenologi?
B.     Apa Pengertian Pendekatan  Fenomenologi?
C.     Bagaimana penelitian dalam fenomenologi?

III.            PEMBAHASAN
A.    Biografi Tokoh Perintis Fenomenologi
Filsafat Fenomenologi dengan tokohnya yang terkenal yaitu Edmun Hasserl (1859-1938M), dialah perintis dari fenomenologi. fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelajari oleh Edmun Hasserl, salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat. Husserl membedankan antara dua dunia yang terkenal dalam sains dan dunia di mana kita hidup. Pengkajian tentang dunia kita hayati serta pengalaman kita yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi.[2]
Edmun Husserl adalah filosof yang mengembangkan metode Fenomenologi, dia lahir di Prostejov Cekoslowakia.[3] Husserl adalah murid Franz Brentono dan Carl Stumpf pada tahun 1886 dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang Fenomenologi. Tahun 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan gereja Lutheran. Dia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (private dosen) di Tahun 1887, lalu di Gottingen sebagai professor pada tahun 1901. Dan di Freiburg Im Breisgau dari tahun 1916 hingga ia pension pada tahun 1928. Setelah itu ia melanjutkan penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg. Hingga kemudian dia dilarang menggunakan perpustakaan tersebut oleh rektor setempat, karena ia keturunan yahudi. Husserl meninggal dunia di Freiburg pada tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit Dnenomonia.[4]

B.     Pengertian Pendekatan Penomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata  pahainomenon (gejala/fenomena).[5]
Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri[6]
Dalam KBBI fenomenologi adalah ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sbg ilmu yg mendahului filsafat.[7]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa fenomenologi adalah imu pengetahuan yang tentang apa yang tampak megenai suatu gejala-gejala atau fenomena yang pernah menjadi pengalaman manusia yang bisa dijadikan tolak ukur untuk mengadakan suatu penelitian kualitatif.

C.     Penelitian dalam Fenomenologi.
Fenomenologi merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu. Memahami pengalaman-pengalaman hidup manusia menjadikan filsafat fenomenologi sebagai suatu metode penelitian yang prosedur-prosedurnyamengharuskan peneliti untuk mengkaji sejumlah subjek denganterlibat secara langsung dan relatif lama di dalamnya untuk mengembangkan pola-pola dan relasi-relasi makna. Dalam Proses ini, peneliti mengesampingkan terlebihdahulu pengalaman-pengalaman pribadinya agar ia dapat memahami pengalaman-pengalaman partisipan yang ia teliti.[8]
Dalam bukunya Hasserl yang di kutip oleh Marliana dalam sekripsinya, Penelitian pertama dalam fenomenologi belum sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikat gejala yang ada. Oleh karena itu, diperlukan pengamatan kedua yang disebut pengamatan intuitif.
Pengamatan intuitif harus melewati tiga tahap reduksi atau penyaringan, yaitu reduksi fenomenologis, reduksi eidetis, dan reduksi transedental. Dengan penjelasan dibawah ini:
1.      Reduksi fenomenologis ditempuh dengan menyisihkan atau menyaring pengalaman pengamatan pertama yang terarah kepada eksistensi fenomena. Pengalaman inderawi tidak ditolak, tetapi perlu disisihkan dan disaring lebih dulu sehingga tersingkirlah segala prasangka, praanggapan, dan prateori baik yang berdasar keyakinan tradisional maupun yang berdasarkan keyakinan agamis, bahkan seluruh keyakinan dan pandangan yang telah dimiliki sebelumnya. Segala sesuatu yang diketahui dan dipahami lewat pengamatan biasa terhadap fenomena itu harus diuji sedemikian rupa dan tidak boleh diterima begitu saja. Hal yang utama adalah menyingkirkan subjektivitas yang merupakan penghambat bagi fenomena itu dalam mengungkapkan hakikat dirinya.
2.      Reduksi eidetis adalah upaya untuk menemukan eidos atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Segala sesuatu yang dianggap sebagai fenomena harus disaring untuk menemukan hakikat yang sesungguhnya dari fenomena itu. Segala sesuatu yang dilihat harus dianalisis secara cermat dan lengkap agar tidak ada yang terlupakan. Perhatian pengamat harus senantiasa terarah kepada isi yang paling fundamental dan segala sesuatu yang bersifat paling hakiki.
3.      Reduksi transendental berarti menyisihkan dan menyaring semua hubungan antar fenomena yang diamati dan fenomena lainnya. Pengalaman merupakan hal yang harus disisihkan karena merupakan bagian dari kesadaran empiris. Reduksi transendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris sehingga kesadaran diri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainnya.[9]
Dan Husserl dalam tulisan Cokro Aminoto juga masih membagi komponen-komponen transendental menjadi beberapa konsep dalam melakukan penilitian.
Komponen koseptual dalam fenomenologi dari Husserl transendental terdiri dari:
1.      Kesengajaan.
      Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akan menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
2.      Noema dan noises
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan dan menilai ide.
Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis meskipun keduanya sangat berbeda makna. Noema akan membawa pemikiran kita kepada noesis. Tidak akan ada noesis jika kita tidak mengawalinya dengan noema. Begini mudahnya, kita tidak akan tahu tentang bagaimana rasanya menikmati buah durian (noesis karena ada aspek merasakan, sebagai sesuatu atau objek yang abstrak) jika kita sendiri belum mengetahui seperti apa wujud durian (noema karena berkaitan dengan wujud, sebagai sesuatu atau objek yang nyata). 
3.      Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
4.      Intersubjektif
Makna  ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).[10]
Pendekatan fenomenologis juga harus ada kerangka pemikiran dalam penelitian diantaranya yaitu :
a.       Pengamatan yaitu suatu replika dari benda di luar manusia yang intrapsikis, dibentuk berdasar rangsang-rangsang dari obyek.
b.      Imajinasi yaitu suatu perbuatan (act) yang melihat suatu obyek yang absen atau sama sekali tidak ada melalui suatu isi psikis atau fisik yang tidak memberikan dirinya sebagai diri melainkan sebagai representasi dari hal yang lain. Dunia imajinasi berdasra aktivitas suatu kesadaran.
c.       Berpikir secara abstrak. Bidang yang sangat penting dalam hidup psikis manusia ialah pikiran abstrak. Aristoteles berpendapat bahwa pikiran abstrak berdasarkan pengamatan; tak ada hal yang dapat dipikirkan yang tidak dulu menjadi bahan pengamatan. Dengan menghilangkan ciri-ciri khas (abstraksi) terjadi kumpulan ciri-ciri umum, yaitu suatu ide yang dapat dirumuskan dalam suatu defenisi.
d.      Merasa/menghayati. Merasa ialah gejala lain dari kesadaran mengalami. Pengalaman tidak disadari dengan langsung, sedangkan perasaan biasanya disadari. Merasa ialah gejala yang lebih dekat pada diri manusia daripada pengamatan atau imajinasi.[11]

Penelitian dengan berdasarkan fenomenologi harus melihat objek penelitian dalam suatu konteks naturalnya. Artinya seorang peneliti kualitatif yang menggunakan dasar fenomenologi melihat suatu peristiwa tidak secara parsial, lepas dari konteks sosialnya karena satu fenomena yang sama dalam situasi yang berbeda akan pula memiliki makna yang berbeda pula. Untuk itu dalam mengobservasi data lapangan, seorang peneliti tidak dapat melepas konteks atau situasi yang menyertainya. Dengan kalimat yang dikutip dari Muhajir (1990) oleh Muhammad Idrus, Muhajir menggunakan penelitian dengan menggunakan model fenomenologi menuntut besarnya subjek penelitian dengan subjek pendukung objek penelitian. Dengan demikian, metode penelitian dengan berlandaskan fenomenologi mengakui adanya empat kebenaran, yaitu: kebenaran empiris yang terindra, kebenaran empiris logis, kebenaran empiris etik, dan kebenaran transendental.[12] Jadi dari keempat kebenaran ini tidak bisa dihapuskan dalam penelitian fenomenologi.

IV.            KESIMPULAN
Tokoh dari pendekatan Fenomenologi adalah Hasserl. Dialah pencetus dari pendekatan tersebut.
Fenomenologi adalah imu pengetahuan yang tentang apa yang tampak megenai suatu gejala-gejala atau fenomena yang pernah menjadi pengalaman manusia yang bisa dijadikan tolak ukur untuk mengadakan suatu penelitian kualitatif.
Fenomenologi merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu. Memahami pengalaman-pengalaman hidup manusia menjadikan filsafat fenomenologi sebagai suatu metode penelitian yang prosedur-prosedurnya mengharuskan peneliti untuk mengkaji sejumlah subjek dengan terlibat secara langsung dan relatif lama di dalamnya untuk mengembangkan pola-pola dan relasi-relasi makna.
Dengan demikian, metode penelitian dengan berlandaskan fenomenologi mengakui adanya empat kebenaran, yaitu: kebenaran empiris yang terindra, kebenaran empiris logis, kebenaran empiris etik, dan kebenaran transcendental.
V.            PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah semata-mata karena kekurangan penulis.  Penulis sadar dalam penyajian makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan guna untuk kesempurnaan makalah ini agar kedepannya menjadi yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua yang membaca. Amin.


[1] Suwahono, Metodologi Penelitian, (Semarang: Pendidikan Kimia Universitas Islam Negeri Walisongo, 2012), hlm.16-17.
[2] Mazizaacriza, Fenomenologi, di poskan pada Februari 2012, www.mazizaacrizal.blogspot.com, di unduh pada 13 november 2012, (1 Paragraf).
[3] Suwahono, Metodologi Penelitian, hlm. 18.
[4] Mazizaacriza, Fenomenologi, di poskan pada Februari 2012, www.mazizaacrizal.blogspot.com, di unduh pada 13 November 2012.
[5] Dheby Shintania, metode Penelitian fenomenologi, diposkan Maret 2012, http://Debby Sinthania  Metode Penelitian Fenomenologi_files/cb=gapi.loaded_1, Diunduh pada 13 November 2012. (1 paragraf)
[6] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman,  (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981), hlm. 100.
[7] Densi sugono. KBBI, (Jakarta: Pusat Bahasa,  2007), tanpa hlm.
[8] Suwahono, Modul UTS mata kuliah Metodologi Penelitian, Hlm. 4.
[9] Marliana,  Skripsi (Konsep Diri Remaja Yang Pernah Mengalami
Kekerasan Dalam Rumah Tangga), (Semarang: Undip, 2007), hlm. 83.
[10] Cokro Aminoto, pendekatan fenomenologi transcendental Hasserl dalam penelitian kualitatif, http://feedjit.com/flash/fj.swf, diposkan 30 Maret 2011, di unduh pada 13 November 2012. (1 paragraf)
[11] Tha anak alam, fenomenologi, diposkan oktober 2012http://thaa-anax.blogspot.com/favicon.ico, diunduh 13 november 2102. (1 paragraf).
[12] Muhammad idrus,Metode Penelitian Ilmu Sosial  pendekatan kualitati dan kuantitatif,(Yogyakarta: Erlangga), hlm.59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar